09 Juli 2009

Sejak berusia 7 tahun sudah biasa menjalankan hidup prihatin. Pada usia 10 tahun beliau sering ikut tidur di dalam Keraton. Setiap malam Jumat Legi beliau selalu berziarah ke makam Ki Ageng Mataram atau disebut juga Panembahan Senopati.
Beliau juga berziarah ke makam Ki Ageng Karanglo di Kota Gede.
Di pemakaman tersebut, beliau diberi 3 batang lidi oleh juru kunci makam. Kemudian lidi-lidi tersebut ditanam di sebelah kiri dan kanan makam.

Pada tahun 1915 beliau masuk sekolah, dimana beliau harus berjalan jongkok sambil membawa sabak (batu tulis). Selain sekolah, kegiatan rutin beliau sehari-hari bekerja di Keraton. Setiap hari jumat pukul 9, dengan bertelanjang dada beliau masuk keraton membawa ayam dan melepaskannya di halaman Keraton dan sekitar pukul 10, beliau memasukkan ayam kembali ke Kesatrian, kemudian kembali ke rumah.

Sejak ayahnya meninggal dunia pada tahun 1918, beliau tinggal bersama bibinya. Selama tinggal bersama bibinya, rutinitas yang dilakukan adalah sekolah. Pulang dari sekolah membantu membersihkan baju dan kain sarung. Pada malam hari, membantu ‘wironi’ (melipat-lipat salah satu sisi kain).

Pada tahun 1920, beliau mengikuti banyak ujian di beberapa lembaga pendidikan antara lain Mantras di Makasar, Sekolah Tinggi Bahasa Asing di Bandung, Centrale Burgelijke Zienkenhuis (CBZ) di Semarang dan Normaal School di Ambarawa. Dalam setiap ujian yang diikutinya, beliau selalu berhasil lulus dan yang beliau paling sukai saat berada di Normaal School – Ambarawa. Beliau lulus pada tahun 1925.

Pada tanggal 1 Mei 1925, beliau membuka SPJ kelas I dan II di daerah Kaliduren, Yogyakarta. Pagi hari, beliau mengajar di kelas I dan membantu kelas II. Setiap sore hari mengajar anak-anak gembala dan malam harinya mengajar bapak-bapak dari anak gembala tersebut. Selain mengajar, kadang-kadang mengajar menari dan menyanyi. Sebagai guru, kala itu beliau dibayar sebesar Rp 25,-, untuk membayar indekos sebesar Rp 10,- dan sisanya untuk mencukupi kebutuhan sehar-hari. Pada tanggal 30 April 1925 sekolah kelas II Negeri Tawangsari Surakarta ditutup, anak-anak, orang tua dan Pamong Dusun kecewa. Mereka semua menangis.

Pada tanggal 1 Mei 1926 beliau mulai bekerja kembali dan tinggal di rumah bapak Gito, teman gurunya. Bulan Juni 1926 bapak Gito pindah dan rumahnya beliau beli dengan harga Rp 150,-. Setelah memiliki rumah sendiri, beliau membeli perlengkapan rumah seperti lampu, piring 6 buah, gelas 1 lusin, cangkir 1 lusin, ceret, anglo, tempat tidur (dipan) untuk tidur 2 anak laki-laki yang tinggal bersamanya. Pada bulan Juli 1926 rumah beliau menampung lurah beserta keluarganya dengan 3 anak 3 (1 perempun dan 2 laki-laki) dan beliau minta tolong kepada keluarga tersebut memasak untuk makan sehari-hari. Beliau bercerita tentang dirinya, ada pemuda dengan bayaran Rp 40 dan jatah beras sekati 3,5 sen banyak yang ingin melamar, ada anak mantri guru, mantri polisi dan camat. Banyak cara yang dilakukan gadis-gadis untuk memikat hati beliau seperti sehabis keramas gadis-gadis sengaja mengurai rambutnya di pendopo. Beliau menjadi bingung. Kadang beliau juga merasa tidak enak dengan Ibu mantri Polisi, seorang perawan cantik, yang setiap hari kainnya beliau wironi, beliau merasa berhutang budi dengan ibu mantri polisi itu.

Dengan keadaan tersebut, beliau menjadi prihatin, setiap malam pukul 11 berendam di Sungai Bengawan Solo sampai 40 malam bersama 5 orang : Camat, mantri Polisi, mantri Pajak, mantri Pasar, Mantri Garam. Semuanya sudah berumah tangga dan hanya beliau sendiri yang masih perjaka. Selain berendam, beliau juga tidur di atas tanah selama satu minggu, di sawah sehabis panen selama 1 minggu dan di pinggiran saluran irigasi selama 3 hari. Hal ini dilakukannya sekedar hanya ingin merasakannya saja.

Setiap malam Minggu, beliau bermain Karawitan di Pendopo Kawedanan, Sarasehan (kongko-kongko), main kartu tapi tidak menggunakan uang, rekreasi mengunjungi makam-makam dan lain sebagainya

Setiap hari Sabtu sehabis sekolah beliau selalu pergi ke Solo menginap di rumah ibu Marwoto di Kampung Kethelan. Paginya pergi ke Gereja Purbayan. Beliau juga sering diajak berkunjung ke rumah bapak Atmopranoto, guru HIS Katolik Purbayan. Ibu Atmopranoto mengurus adik-adik perempuannya R.A. Siti Suliyah, R.A. Siti Sumirah, R.A. Siti Saryuni. Sebelum di situ, adik-adik perempuan Ibu Atmopranoto tinggal di dalam Baluarti dan yang di tuakan adalah R.A. Siti Suliyah. Lama kelamaan, Ibu Marwoto bertanya kepada beliau : ‘dik Dirdjosoemarto sudah punya pacar apa belum’. Beliau menjawab : ‘belum mbakyu’. ‘Bener belum’ kata ibu Marwoto. Lalu Ibu Marwoto punya dugaan kalau yang ditaksir beliau adalah yang sering ditemani kalau melihat Pasar Malam, itu kan anaknya Bapak Bei Singopranoto, Asisten Wedana Yuwiring Klaten, sekolahnya di Netral. Kemudia beliau meminta ibu Marwoto melamar. Tak lama kemudian dengan modal nekat beliau melamar putri Bapak Bei Singopranoto. Beliau bertanya kepada R.A. Siti Suliyah : ‘apa mbakyu mau menjadi Katolik ?’ Jawab R.A. Siti Suliyah : ‘kalau bapak dan ibu boleh, saya bersedia menjadi Katolik’. Ternyata Bapak dan Ibu Singopranoto setuju kalau R.A. Siti Suliyah belajar agama Katolik dan yang mengajar agama Katolik adalah Bapak Gitoasmoro. Dengan persetujuan Bapak dan Ibu Singopranoto pada tanggal 1 Desember 1928 beliau menerima sakramen perkawinan di Gereja Katolik Purbayan Surakarta. Saat itu Bapak Singopranoto menjabat sebagai Asisten Wedana di Bayat Klaten sehingga pada malam tanggal 2 Desember 1928 dilangsungkan resepsi di Bayat Klaten dengan acara wayang kulit. Selanjutnya beliau dan istri pindah ke Tawangsari. Di sana beliau dan istri disambut dan dirayakan bersama teman-teman pegawai kawedanan yang disponsori oleh Bapak Purwowiyoto KS.

Pada awal hidup berumahtangga beliau dan istri dibantu oleh ibu Widyohartono yang tinggal bersama sampai beberapa bulan. Lama kelamaan ibu itu beliau carikan rumah dekat pasar. Beliau dan istri tinggal bersama 2 anak laki-laki. Kemudian beliau dititipi oleh bapak Purwowiyoto KS seorang guru perjaka berasal dari Yogya.

Bulan Oktober 1929, beliau pindah ke sekolahan angka II Kawedanan Bukateja, Kabupaten Purbalingga, Karisidenan Banyumas. Bulan November 1929 istrinya melahirkan seorang anak perempun tetapi pada usia 1,5 tahun dipanggil menghadap Tuhan. Pada tanggal 31 Desember 1931 jam 2 malam istrinya kembali melahirkan anak laki-laki dan beliau beri nama Johannes Widodo. Untuk membantu kebutuhan sehari-hari, istri beliau berjualan minyak tanah dan laris, tetapi kalau yang membeli orang tua, sudah simbah-mbah, istrinya tidak mau dibayar (uangnya disuruh bawa saja).

Di Kawedanan, bapak dan ibu Wedana kelihatannya ramah, setiap 6 bulan beliau disuruh membuat sandiwara untuk menghibur pegawai negeri, beliau diminta untuk menjadi pemimpinnya. Karena merasa masih muda, beliau menolaknya. Tetapi karena bapak Wedana memaksa dan para pegawai lainnya menyetujuinya, akhirnya beliau mau.

Tahun 1932 beliau mulai membuat sandiwara dan latihannya selalu di rumah beliau. Melalui pentas sandiwaranya, beliau dapat membantu mencarikan dana untuk bencana alam di daerah Sumatra Utara (Kruwe) dan nama daerah yang terkena bencana tersebut dijadikan nama makanan ‘Nasi Kruwe’ oleh istrinya yang sehari-harinya berjualan nasi.

Tahun 1932 beliau diperiksa Ajun Inspektur Wignyasumarto. Selesai diperiksa beliau diberi kepercayaan oleh Ajun Inspektur untuk memimpin HIS. Beliau bersedia kalau boleh memilih penempatannya. Bapak Ajun Inspektur menjelaskan bahwa HIS hanya ada di kota Kabupaten, namun beliau tetap pada pendiriannya, bahwa kalau boleh memilih beliau baru mau. Karena pendirian beliau yang kuat, lalu bapak Ajun Inspektur membatalkan niatnya.
Di Kawedanan, warga yang beragama katolik hanya beliau sekeluarga, sedangkan yang lainnya semua beragama Islam.

Tahun 1933 beliau diperiksa kembali. Kebetulan saat itu beliau sedang mengajar olah raga di lapangan, ada seorang wanita dari pasar mendadak mau melahirkan (kebrojolan) dan kesakitan di samping beliau. Murid-murid beliau tinggalkan dan beliau melaporkan hal tersebut kepada ibu Wedana. Ibu Wedana langsung memberikan pertolongan dan mengantarkan wanita itu kembali ke desanya.

Bulan Januri 1934, beliau harus pindah ke Kecamatan Karang Moncol, Kawedanan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga, dekat rumah almarhum Jenderal Sudirman. Bapak Wedana dan para warga semuanya kecewa atas kepergian beliau, karena belum ada orang yang meneruskan perjuangan beliau. Namun bapak Wedana senang karena dengan kepindahannya beliau mendapat kenaikan pangkat.

Mulai tahun 1934, beliau tinggal di Kecamatan Karang Moncol. Di sana beliau dan keluarga disambut oleh bapak Camat beserta para Demangnya. Di kota kecamatan tersebut, penduduk kota hanya 2 orang yang kaya raya. Rakyat semua setia pada Demang. Selama di Kecamatan Karang Moncol, beliau tinggal di rumah ibu Abdul Kamil. Akhirnya beliau dibuatkan loji kecil lengkap dengan isinya oleh ibu Abdul Kamil yang masih saudara dengan Sektretaris NU. Di kecamatan tersebut sekolahannya rusak dan berusaha diperbaiki sampai cukup untuk membuat sekolah sendiri (HIS). Tahun 1932 PNI telah berdiri, pemimpinnya Dokter Muryani dan Mister Wongsonegoro dan sudah menggunakan simbol Merah Putih. Sekolahan angka II rusak. Karena sekolahannya rusak beliau dan istri berputar-putar ke setiap desa dan akhirnya beliau menemukan sekolahan desa. Gurunya berjumlah 20 orang, 18 orang belum ada yang bisa naik sepeda, kadang-kadang beliau mengajari guru-gurunya naik sepeda sampai bisa. Berkat ketekunan beliau dan teman-temannya sekolahan beliau menjadi baik dan teratur.

Setiap Minggu guru-guru beliau ajak belajar HBO, belajar di klinik dengan cara menolong murid-muridnya yang mendadak sakit (pingsan, dll) saat beliau melatih pemuda-pemuda dari 21 desa untuk baris-berbaris dan olah raga. Istri beliau mengajari anak-anak perempuan membuat pekerjaan tangan dan pada hari minggu mengajari memasak dan membuat lauk pauk. Di sana beliau bersama istri tinggal selama 11 tahun dan menambah 4 orang anak.
Pada jaman Jepang, beliau dilatih untuk angkat senjata dan belajar bahasa Jepang di Jakarta (asrama Rawabangke Cipinang)

Tahun 1943, beliau diperintahkan oleh bapak Wedana Bobotsari Purbanlingga (bpk. Senthot Wangsaatmaja) untuk menjadi Camat. Setelah 6 bulan beliau minta mundur sebagai camat tetapi bapak Wedana minta supaya beliau tetap menduduki jabatan tersebut. Beliau tetap pada pendiriannya dan mogok. Karena cita-cita beliau sejak awal ingin menjadi ‘Schoolziener’ kedudukannya lebih tinggi dari Camat. Tetapi akhirnya tidak diperbolehkan.

Bulan Oktober 1945 beliau menerima SK ‘Schoolziener’. Setelah menandatangi SK tersebut, pegawai baru RI : bpk. Widodo, Camat, Mantri Polisi. Rumah beliau diketuk kurang lebih pukul 6.15 oleh 600 orang dengan senjata lengkap. Lalu beliau memberi kabar kepada bapaknya di Solo. Keluarga semua diboyong ke tempat adik iparnya yang ke-7 R.M. Karsono, SH
------------------------------------------------------------------






Sesampainya di Solo sudah terlambat dan beliau menganggur. Kemudian beliau datang ke kantor P&K Karisidenan Surakarta yang dipimpin oleh bapak Brojonegoro. Oleh bapak Kepala P&K tersebut beliau akan ditempatkan di Singosari Boyolali, Nagasari dan terakhir di Ngesang Sukohardjo, tetapi beliau tidak bersedia. Kemudian beliau datang ke Bayosa Wonogiri. Beliau juga tidak bersedia untuk ditempatkan di Jatisrono.

Lain waktu dan lain cerita, anak-anak beliau di Solo tinggal bersama eyangnya (orang tua beliau) ikut berjualan bumbu di Pasar Mraggen, sebelah barat Pabrik Ceper dan kadang-kadang ikut berjualan sampai ke Solo. Sekalipun beliau belum boleh keluar, apabila libur pada hari Sabtu atau Senen beliau pulang dari Purbalingga ke Solo, sampai di Solo pukul 11 malam. Kembali lagi ke Purbalingga dari Solo pukul 11 malam juga. Selama berada di Solo, Beliau selalu berkunjung ke Pasturan Purbayan menemui Romo Paroki (Romo Th. Pusposuparto SJ).

Saat berada di Rawa Seneng, beliau mencari pekerjaan dan diwawancarai oleh Romo di pastoran, namun Romo tidak bisa menerimanya karena tidak bisa membayar untuk pekerjaan beliau. Karena tidak diterima, beliau kembali. Setelah beberapa hari kemudian beliau datang kembali kepada Romo untuk diberikan pekerjaan, tetapi Romo berpesan kalau beliau mau berusaha dengan keras pasti bisa. Akhirnya beliau diberikan pekerjaan untuk memimpin SD JK Baturetno. Kemudian beliau kembali dan membicarakan tawaran tersebut dengan ibu Dirdjo. Ibu Dirdjo berkata, “menurut bapak bagaimana kalau bekerja di JK, bapak tidak bisa jadi PS”. Beliau menjawab ; ‘Iya pasti kalau di sekolah JK tidak ada PS. Yang ada PS itu di sekolah negeri’. Kemudian Ibu Dirdjo berkata : ‘Iya lebih baik dipikir-pikir dulu’. Karena begitu sayangnya dengan ibu Dirjdo, Beliau pernah berjanji kepada Ibu Dirdjo apabila bisa mendapatkan pekerjaan tersebut, beliau akan mencarikan rumah yang dekat dengan gereja, stasiun, pasar, sekolahan dan lantainya dari ubin. Kemudian beliau kembali menemui Romo untuk memberitahukan bahwa beliau mau menerima tawaran pekerjaan tersebut. Lalu Romo menulis surat kepada Bapak J.B. Suwardi, isi suratnya memberitahukan akan memberikan seorang teman, Kepala Sekolah dari daerah Purbalingga, lulusan Normaal School Ambarawa tahun 1925. Kemudian beliau datang ke Baturetno, di sana satu orang guru mengajar 3 kelas (kelas IV-V-VI) dengan murid sebanyak 40 orang. Beliau disuruh tinggal di belakang sekolahan sesuai permintaannya Ibu Dirdjo.

Tanggal 1 Juli 1946, beliau mulai menempati rumah baru. Beliau berdua mulai bekerja. Setiap tahun muridnya bertambah tetapi beliau berdua prihatin merasakan usahanya. Beliau bersama bapak Suwardi, bapak Darmowisrowo membentuk panitia untuk membuat garam. Anggota panitia : bapak R.F.J Dirdosumarto, bapak Darma, bapak Samadi, bapak Harjopranoto, bapak Mardiwardoyo, bapak Sastrosarono, bapak J.B. Suwardi dan bapak Puspodarminto. Panitia mengirimkan bapak Darmo untuk belajar membuat garam di Sewugalur Kulon Progo. Gurunya adalah pengusaha garam di Juwana. Untuk membuat garam Panitia meminjam perlengkapan Angkatan Darat di Gremet Purwosari Solo. Untuk mewujudkan rencananya membuat garam, beliau bersama bapak Darmo meminjam uang sebesar Rp 75.000,- dengan perjanjian akan membayarnya dengan garam. Uang pinjaman tersebut digunakan untuk menyewa tanah dan membeli peralatan. Pertama kali melihat tempat, mereka bertujuh datang ke pesisir Duren Gunturarja, Kecamatan Giritontro. Beliau secara bergantian membuat waduk di pesisir dan membuat kotak-kotak pematang. Setiap hari kira-kira 60 orang membantu mengangkat air untuk mengisi waduk. Di situ beliau tinggal di tempat bapak Modin Dlingo, kepala dapurnya ibu Mul, adiknya bapak Darmo. Sesudah waduk penuh diisi air, air dialirkan ke pematang I sampai penuh selanjutnya ke pematang II, III dan IV. Setiap pematang ditimbang menggunakan timbangan BP. Apabila jarum menunjukkan angka 27-28 sampai menjadi seperti salju, garam sudah jadi dan hasil yang diperoleh sebanyak 7 ton. Saat kles ke 2, Belanda datang semua alat-alat dirampas dan menjadi rusak, panitia bubar.

(diterjemahkan oleh Novie Wiranto dan Bonie Wiranto)